Bismillah, memasuki tahun baru, meninggalkan satu tahun lalu di belakang, 2020, a year to remember. Belum pernah di sepanjang hidupku selama 41 tahun ini menemui satu tahun yang menggoreskan catatan sekuat tahun 2020 ini. Tulisan ini kuketik di tengah riuhnya suara petasan dan kembang api di penghujung tahun 2020, sebagai memorabilia, satu kenangan kelak untuk dibaca kembali di masa yang akan datang.
Awal Tahun Tanpa Tanda Khusus
Saat awal tahun 2020, kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, dengan rutinitas dan lain sebagainya. Bahkan kami mengawali dengan kabar baik, karena target penjualan tahunan umroh sudah banyak terpenuhi di awal tahun. Optimisme dan semangat menjalar-jalar. Ketika muncul berita wabah baru muncul di Kota Wuhan China, masih banyak yang belum bisa menyadari potensi bahayanya.
Hingga badai Covid 19 akhirnya menghantam bumi kita tercinta di pertengahan bulan Maret, saat satu rombongan umroh Hasanah Tour baru saja mendarat di Madinah. Dan itu adalah rombongan terakhir sebelum akhirnya pihak Kerajaan menutup total seluruh akses untuk umroh maupun haji.
Saat Kematian Begitu Dekat
Tiba-tiba saja kematian menjadi hal yang lazim. Hampir setiap hari ada saja kabar orang meninggal. Dari orang yang sama sekali tak dikenal, menjalar terus sampai akhirnya muncul nama-nama yang makin dekat dengan kita. MasyaAllah.
Di tahun 2020 lah, rasanya hati seperti roller coaster. Naik turun terhempas-hempas. Berganti-ganti dengan ekstrem antara rasa cemas, khawatir, dan kelegaan.Pertama ketika tiba-tiba suami mendadak sakit, demam tidak sembuh-sembuh. Seminggu bertahan di rumah, ingin rawat sendiri saja. Akhirnya di hari ke 7 menyerah, karena demam naik turun terus tidak terkendali, jadi memutuskan untuk ke rumah sakit yang tentu saja langsung opname.
Dugaannya sudah yang macem-macem saja. Karena gejalanya sangat mirip dengan covid. Syukurnya saat itu hanya dirawat di ruang perawatan umum. Kondisi berubah saat hasil rontgen paru keluar. Tiba-tiba saja dokter dan perawat yang masuk ke ruangan semuanya pakai APD lengkap. Feelingku sudah tidak nyaman. Dan benar saja, tak lama dokter memberitahu kalau suami harus masuk isolasi.
Gemetar kaki mendengarnya, susah melangkah, tapi aku harus kuat. Tidak boleh nampak lemah di depan suami yang sedang sakit. Berusaha menghibur-hibur meski dalam hati sendiri sedang badai. Saat itu sedang santer-santernya berita kematian karena covid. Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika orang terdekat diduga kena. Jadi bayang-bayang kematian itu begitu dekat.
Bersyukur sekali, terimakasih Allah, setelah sekitar seminggu diisolasi akhirnya hasil swab keluar dan hasilnya negatif. Rasanya luar biasa lega, terasa diberi kesempatan kedua untuk bersama.
Kejutan selanjutnya datang di ujung tahun, ketika mendengar adiknya suami yang menjadi pasukan kopassus ternyata positif covid dan langsung diisolasi di wisma atlet. Itu ternyata baru permulaan, karena berikutnya berturut-turut ibu mertua masuk isolasi di salah satu rumah sakit swasta di dekat rumah, lalu dua keponakan yang masih usia SD dan balita menyusul papanya ke wisma atilt, dan bapak mertua ke rumah sakit juga.
Terakhir, istri adik yang serumah dengan mertua yang selama ini mondar mandir mengurus orang tua, profesi perawat, akhirnya ikut tumbang, dalam kondisi hamil besar. MasyaAllah, ‘hadiah’ akhir tahun yang luar biasa.
Kami yang berada di provinsi yang berbeda, hanya bisa menguatkan dengan memberi semangat serta mendoakan dari jauh, dengan hati yang kebat kebit. Bagaimana tidak, mertua sudah cukup sepuh, dan bapak punya komorbid. Sempat hopeless, tapi kemudian saling mengingatkan dan menyemangati kembali, selagi masih bisa diusahakan maka ikhtiar yang terbaik.
Jadi saat itu minta kepada pihak rumah sakit, apa kira-kira tindakan maksimal yang bisa dilakukan. Apapun caranya, berapapun harganya. Uang bisa dicari, nyawa, kemana bisa mendapat ganti.
Setiap waktu video call, atau chatting di grup keluarga untuk mengingatkan yang sakit agar tidak menyerah, harus lawan penyakitnya, makan tertib dan dihabiskan, obat tidak boleh ketinggalan, patuhi saran dokter. Begitu setiap hari.
Di sisi lain, sedekah diperbanyak seraya doa, semoga Allah berkenan menyembuhkan kembali semuanya yang sedang sakit. Sedekah, sedekah, sedekah, doa, doa, doa, tertib, tertib, tertib. Dan alhamdulillah, semuanya sembuh satu per satu.
Terimakasih ya Allah. Tinggal menunaikan janji mau ajak orangtua umroh bersama kalau sudah sembuh. Beri kemudahan Yaa Rabb...
A Year to Remember
Benar bahwa penyakit ini tidak mengenal profesi. Dari rakyat biasa hingga para dokter tidak luput dari serangannya. Meski sudah melakukan protokol kesehatan dengan cara yang tepat dan benar, tapi karena paparan virusnya sangat intens, mengakibatkan para tenaga medis ini tumbang.
Ternyata jumlahnya nggak main-main lho korban covid ini, dari kalangan medis saja total sampai tanggal 5 Desember lalu sudah mencapai 342 orang, diantaranya 192 dokter, 14 dokter gigi, dan 136 perawat. Berita lengkapnya ada di liputan6.com. Sedih, karena para tenaga medis inilah pasukan yang berada di garda terdepan melawan coronavirus.
Bukan tentara atau pasukan militer bersenjata lengkap, namun para dokter dan perawat yang sedihnya lagi, tidak dipersenjatai dengan baik di awal munculnya wabah. Akibatnya mereka bertumbangan dalam waktu yang relatif singkat. Sungguh mengkhawatirkn kondisi ini.
Salut luar biasa untuk para tenaga medis yang sudah menjadi benteng bagi kesehatan masyarakat. Walau ancaman kematian bisa menghadang setiap saat, tapi mereka tetap gagah berada di garda terdepan. Layaklah gelar pahlawan disematkan kepada mereka, petugas medis dan paramedis.
Bahkan hingga tulisan ini dibuat, masih ada kabar dokter yang meninggal lagi. Semoga Allah ganjar dengan pahala yang besar. Sungguh, 2020, a year to remember.
Posting Komentar
Posting Komentar